24 Mei 2013

Pancasila dan Kehidupan Beragama

It Was Published In Koran Jakarta News Paper
Jum'at, 24 Mei 2013
Gagasan
Syahrul Kirom
alumnus pascasarjana ilmu filsafat UGM Yogyakarta

Pancasila dan Kehidupan Beragama
Pancasila dan Kehidupan Beragama
ISTIMEWA

Toleransi beragama di Indonesia kian memudar dan menipis. Sikap hidup rukun beragama mulai terkikis dan sikap fanatisme dalam beragama lebih dikedepankan. Dua Masjid besar yang berada di dua lokasi dan sejumlah rumah Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya dibakar dan dirusak massa, minggu(5/5). Satu Masjid berlokasi di Kampung Kutawaringin, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu dan satu Masjid lainnya di Kampung Babakan Sindang RT 11/03, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Kaca Jendela dan Rumah rusak.

Kebebasan beribadah dan beragama di Indonesia mulai terenggut dengan adanya kebijakan hukum yang tidak memihak kepentingan umat dalam menjalankan agamanya secara bebas, tanpa ada paksaan.

Pancasila sebagai petunjuk kehidupan (way of life) berbangsa dan beragama tentunya harus dijadikan pijakan oleh umat beragama di Indonesia dalam setiap bertindak dan berbuat di antara semasa umat beragama yang lain. Di dalam pancasila terdapat sila pertama yakni mengenai Ketuhanan Yang Maha esa. Makna ketuhanan ini sejatinya harus dipahami sebagai perwujudan nilai-nilai toleransi, persaudaraan dan kerukunan antar umat beragama.

Dalam sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada sila Ketuhanan ini menunjukkan arti dan pemahaman (understanding) yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia yang sangat religius. Sebab, di Indonesia memiliki banyak agama, baik dari Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, Budha dan Konghucu. Semua terakomodasi dalam sila pertama, bahwa Indonesia terkenal dengan negara yang multireligius.

Oleh karena itu, dalam sila pertama, setiap warga negara wajib berketuhanan Yang Maha Esa, sikap saling menghormati dan bekerjasama antar umat beragama perlu diimplementasikan dalam kehidupan beragama, sebagai upaya menjalankan sila pertama dalam rangka menghindari praktik kekerasan atas nama agama dan menciptakan kerukunan beragama, sehingga setiap pemeluk agama mengalami kebebasan dalam menjalankan ibadah dan keyakinannya. Melainkan umat beragama tidak boleh memaksakan kehendakanya dalam beragama.

Drijarkara menegaskan bahwa ketuhanan Yang Maha Esa merupakan segala sila. Eksistensi manusia dan eksistensi yang lain senantiasa relatif dan tergantung dan mengerti Tuhan, manusia berpangkal pada pengertian dalam dan dirinya sendiri. Jika adanya manusia itu berupa cinta dan kasih sayang, maka Tuhan pastilah merupakan Maha Cinta Kasih sedemikian rupa sehingga dalam "Ada-Bersama". Manusia selain memanusia dengan cinta kasih sesama juga memanusia dengan cinta dari dan kepada Tuhan.

Dengan demikian, eksistensi manusia dalam hidup bersama melalui nilai-nilai pancasila akan membawa kedamaiaan, ketenteraman, dan penuh kasih sayang antar sesama manusia, dengan tujuan agar Tuhan pun mencintai manusia. Jika sila pertama ketuhanan ini mampu dilaksanakan dalam kehidupan beragama. Tentunya, kekerasan antar agama, konfilik sosial-keagamaan, dapat dihindari sejak dini. Pemahaman sila pertama menjadi sangat siginifikant bagi manusia Indonesia, untuk mencapai kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjalankan ritual Ibadah. Manusia Indonesia yang beriman dan bersungguh sungguh, tidak mungkin melakukan penganiayaan dan pembakaran rumah Ibadah bagi agama yang lain.

Kebebasan beragama juga sedikit dijelaskan dalam Deklarasi universal 1948 tentang HAM (universal declaration). Dalam pasal 18, deklarasi ini sangat mempengaruhi kovenan 1966 tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kovenan 1966 tentang hak sipil dan politik, perjanjian regional dan deklarasi tentang penghapusan bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan (deklarasi 1981). Pasal ini berbunyi "Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, hak meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau kepercayaannya dan kebebasan-baik sendiri atau dalam bersama dengan orang lain, baik secara publik maupu pribadi-untuk memanifestasikan agama atau kepercayaanya dalam pengajaran, praktek, ibadah, dan ketaatan".

Persoalannya secara filosofis yang perlu dipertanyakan adalah apakah negara dan warga negara Indonesia ini sudah benar-benar mengaktualisasikan prinsip ketuhanan dalam kehidupan? Sebab, nyata intoleransi beragama di Indonesia masih saja, termasuk terkait pendirian rumah ibadah GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat.

Umat beragama yang memiliki Tuhan, dan mematuhi Sila Pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, tentunya harus memiliki sikap menghargai adanya agama yang berbeda-beda. Menghargai sebuah keyakinan seorang individu. Dalam nilai pancasila sila pertama inilah umat beragama di Indonesia harus mengamalkan dan mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan sebagai pancaran illahi untuk mengakui dan menghargai kebebasan beragama umat yang lain. Prinsip saling menghormati dan bekerjasama antar umat beragama. Saling menghormati dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya. Tidak memaksakan suatu kepercayaan kepada orang lain.

Kebebasan kehidupan beragama menjadi suatu hak asasi manusia yang sudah seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah pusat, termasuk dari institusi lembaga keagamaan. Perlindungan kebebasan beragama itu tidak hanya ditujukan kepada enam agama di Indonesia seperti Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, Budha dan Kong Hucu. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus memberikan perlindungan umat beragama dalam menjalankan keyakinan dalam beribadah.

Ketika umat beragama memiliki kepercayaan kepada Tuhan. Berarti pelukan terhadap cinta dan kasihnya pada Tuhan, harus tercerminkan melalui sikap persaudaraan pada sesamanya yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak ada artinya kepercayaan pada Tuhan diikrarkan jika manusia tidak saling menghargai sebagai sesama.

Pancasila dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa ini memuat sikap yang mendalam yang berhubungan dengan iman sendiri dan iman orang lain. Iman itu bisa diwujudkan ke luar dalam tindakan dan sikap menghargai iman orang lain serta menjaga harmonitas kehidupan beragama bagi pemeluk yang lain. Iman itu memancarkan sikap kasih sayang terhadap yang lain. Cinta kasih pada Tuhannya, harus dipancarkan juga pada cinta kasih terhadap sesama umat nya yang berbeda keyakinan.

Dengan demikian, nilai-nila toleransi beragama harus selalu dijunjung tinggi oleh pemerintah Pusat. Sebab, pemerintah Indonesia adalah menganut nilai-nilai pancasila. Pancasila yang sejatinya dijadikan petunjuk kehidupan manusia Indonesia dalam melindungi warganya dalam menjalankan ibadahanya sesuai dengan keyakinanya, yang telah dijelaskan dalam sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga.

Syahrul Kirom, M.Phil*
Penulis adalah Alumnus Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta.